JAKARTA | KH. Masjkur selain seorang menteri, tokoh politik dan pejuang, juga seorang ulama. Pak Masjkur, begitulah panggilan akrabnya (sebutan ‘Pak’ sudah mulai membudaya sejak ibu kota pindah ke Yogyakarta), adalah anggota DPP Masyumi, Ketua Markas Tertinggi Barisan Sabilillah dan Anggota Dewan Pertahanan Negara.
Tentang sosok Kiai Masjkur tersebut diungkapkan oleh KH
Saifuddin Zuhri dalam memoarnya ‘Berangkat dari Pesantren’ (2013: 417). Dalam
buku itu menyebutkan bahwa Kiai Masjkur menjadi Menteri Agama setelah ditunjuk
Presiden Soekarno. Sementara Kiai Saifuddin Zuhri membantu di kantor baru di
belakang Istana Presiden di Jalan Ngupasan (kini Jalan Bayangkara) Yogyakarta.
Kiai Masjkur merupakan tokoh NU ke-3 yang mengemban amanat
sebagai menteri agama setelah KH Wahid Hasyim dan KH Fathurrahman Kafrawi. Kiai
Masjkur pertama kali menempati kursi menteri agama pada Kabinet Amir
Syarifuddin II sejak 11 November 1947 hingga 29 Januari 1948.
Selanjutnya dibentuk Kabinet Hatta I sejak 29 Januari 1948,
Kiai Masjkur tetap menjabat menteri agama. Ia memberlakukan Undang-Undang Nomor
19/1948 yang salah satu pasalnya mengatur tentang pemutusan perkara-perkara
perdata antar umat Islam menurut hukum Islam. Selain itu, Masjkur adalah
menteri agama pertama yang menggagas dibentuknya Kantor Urusan Agama (KUA) di
daerah-daerah.
Kabinet Hatta I terhenti pada 4 Desember 1948 lantaran Agresi
Militer Belanda dan ditangkapnya para pemimpin republik. Masjkur lolos dari
penangkapan, kemudian ikut bergerilya, dari Yogyakarta, Solo, Ponorogo, dan
akhirnya bertemu dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman di Trenggalek.
Pemerintahan republik akhirnya dipulihkan dengan terbentuknya
Kabinet Hatta II sejak 4 Agustus 1949. Kiai Masjkur tetap dipercaya menjadi
menteri agama. Pada 20 Desember 1949 atau setelah pengakuan kedaulatan dari
Belanda kepada Indonesia, dibentuklah kabinet peralihan. Soesanto Tirtoprodjo
bertindak sebagai pejabat sementara perdana menteri dan Kiai Masjkur tetap
menempati posisi menteri agama. Jadi Kiai Masjkur tercatat menjabat Menteri
Agama lima kabinet.
Kiai Masjkur juga dikenal sebagai komandan tertinggi pasukan
Sabilillah, ada KH Abdul Wahab Chasbullah yang memimpin barisan Mujahidin dan
KH Zainul Arifin sebagai komandan Hizbullah. Tiga kelaskaran yang diisi oleh
banyak santri tersebut berupaya mempertahankan kedaulatan negara dari pasukan
Sekutu yang dibonceng NICA (Belanda) yang ingin kembali menjajah bangsa
Indonesia.
Kiai Masjkur dan KH Wahid Hasyim menjadi anggota BPUPKI guna
mempersiapkan Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, sedangkan Zainul
Arifin selaku Panglima Hizbullah bertugas mengomandani pelatihan spiritual di
Mesjid Kauman, Malang.
Sementara itu, situasi pertempuran antara rakyat dan NICA
yang dibantu Inggris tetap berkobar di front pertempuran Bandung Selatan,
Semarang, Karawang, dan Mojokerto. Namun, perundingan politik antara pemerintah
Indonesia dengan pemerintah Belanda terus berkembang. Sadar akan kekuatan
laskar santri dan rakyat yang tergabung dalam Sablillah, Mujahidin, Hizbullah,
dan lain-lain, pemerintah dalam hal ini Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin
pada 12 November 1946 atas inisiasi para ulama pesantren membentuk Dewan
Kelaskaran (cikal bakal berdirinya Tentara Nasional Indonesia).
Dewan Kelaskaran ini terdiri dari pucuk-pucuk pimpinan
kelaskaran: KH Masjkur (Sabilillah), Zainul Arifin (Hizbullah), Dr Muwardi
(Barisan Banteng sebelum mengalami penculikan), Bung Tomo (Barisan
Pemberontakan), dan lain-lain.
Integrasi atau penyatuan kelaskaran tersebut berangkat dari
kondisi ketika pemerintah Indonesia kebingungan menyiapkan pasukan dalam
pertempuran dahsyat di Surabaya pada 10 November 1945. Sehingga mendesak KH
Hasyim Asy'ari mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945.
Di tengah kebingungan pemerintah pusat yang masih merasa
lemah karena belum terbentuk Tentara Nasional resmi, berlangsunglah pertempuran
Surabaya 10 November yang melibatkan langsung pasukan-pasukan Hizbullah,
Sabilillah dan Mujahidin dengan persenjataan apa adanya termasuk ketapel waktu
itu.
Kiai Masjkur lahir di Desa Pagetan, Singosari, Malang, Jawa
Timur, pada 30 Desember 1902. Ketika berusia 9 tahun, ia diajak orang tuanya
berhaji ke Makkah. Sepulang dari tanah suci, Masjkur belajar di sejumlah
pesantren seperti di Tebuireng Jombang pimpinan KH Hasyim Asya’ri. Ke Madura berguru
K.H. Kholil al-Bangkalani, ke Pesantren Jamsaren di Solo, Jawa Tengah.
Setelah lama nyantri dari pondok ke pondok, Masjkur akhirnya
kembali ke Singosari pada 1923. Di kampung halamannya ini, tulis Dukut Imam
Widodo dalam Malang Tempo Doeloe (2006), ia mendirikan pesantren sekaligus
madrasah bernama Mishbahul Wathan yang berarti Pelita Tanah Air. Kiai Masjkur
juga aktif sebagai pengurus NU di daerahnya. Pada 1926 ia terpilih sebagai
Ketua NU cabang Malang.
Empat tahun berselang, Masjkur sudah masuk jajaran Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan turut memperjuangkan kepentingan umat Islam
pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ketika Jepang mengambil alih
wilayah Indonesia dari Belanda sejak 1942, Masjkur bergabung dengan Pembela
Tanah Air (PETA). Ini merupakan organisasi paramiliter bentukan pemerintah Dai
Nippon dan nantinya menjadi salah satu unsur utama yang membentuk Tentara
Nasional Indonesia.
Kiai Masjkur wafat tanggal 19 Desember 1992 dalam usia 90
tahun. Pada Jumat, 8 November 2019, Kiai Masjkur ditetapkan oleh Pemerintah RI
sebagai Pahlawan Nasional. Gelar tersebut diberikan Presiden Joko Widodo sesuai
dengan Keppres Nomor 120/TK/Tahun 2019 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan
Nasional. [fathurroji]
Komentar0